Pesan Gelisah Dalam Monolog

Tags

, , ,

Sebuah pertanyaan muncul di kepalaku: Seperti apakah sebuah seni jika ia berbicara tentang hal-hal intim dalam kemanusiaan? Walaupun tidak merasuk dalam relung kebrutalan dan piciknya sebuah kesengsaraan, Festival Kala Monolog IV, mencoba menyodorkan seni dalam bingkai etika sosial pada masyarakat urban kota.

Rumusan dan gagasan tentang etika sosial itu diterjemahkan dalam sebuah proyek seni oleh direktur artistik Kala Teater Shinta Febriany. Kala Monolog IV berlangsung tiga hari, 28-30 Mei 2012 yang merupakan tahun keempat pagelarannya. Shinta Febriany, Arman Dewarti, serta sutradara Teater Kita Ram Prapanca berhasil mengemas sebuah paket kesenian yang sederhana namun dibalut elegan. Mereka menyiapkan satu bingkai cerita yang untuk seorang saya-yang awam seni-ini-dapat menikmati dengan begitu nyamannya. Dan bahwa seseorang sedang berada di sebuah kota yang carut dengan problematikanya, adakah yang bisa menyelamatkannya? Silakan tuliskan harapan-harapan di atas kertas, lalu masukkan ke dalam sebuah amplop dan kirimkan mereka doa.

Soceitiet De Harmonie malam itu tampak beda, di sebuah gedung tua yang sedang dalam tahap renovasi, di salah satu sudut sempit di ujung kota barat Makassar di antara dinding beton menjulang sebuah kawasan pertokoan, sekelompok orang tengah duduk bersila. Senang melihat dominan penonton adalah kaum muda. Mereka duduk di depan panggung sederhana menunggu pagelaran seni dimulai. 

Continue reading

Maumu Apa?

Tags

, , ,

Boleh dikatakan saya ini anak rumahan, maksudnya sering di rumah si A dan kadang berpindah ke rumah si B. Gara-gara saya kepanasan dan kegerahan tinggal di kamar sendiri dan mendengar keluhan dari dalam diri sendiri. Mulut dari saudara saya pun keluar ucapan, “Siapa suruh banyak dosa cal. Latihan dulu di kamar kepanasan biar di neraka sudah biasa”. Dan, panas membara itu masih berlanjut sampai saya menuliskan ini di kamar saya ini.

Maunya senang saja

Tentu panasnya kamar saya akan berlanjut lagi hingga ke luar rumah. Merasakan panasnya kota ini yang katanya punya 3 matahari di siang hari, seperti bendiri di kompor minyak yang sedang menyala. Dan seperti biasa, keluhan atau komentar dari mulut saya yang bau. “Kalau panas situ kesal, kalau dingin juga mengeluh. Jadi mau kamu apa cal?”

Continue reading

Potensi Agro Wisata Desa Loka

Tags

, , ,

Sabtu, 3 Juli 2010 dalam perjalanan 5 jam dari Makassar membawa saya untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di desa ini. Desa yang kemudian saya tasbihkan sebagai kampung halaman saya yang kedua. Yah, Dusun Loka Desa Bontomarannu Kecamatan Uluere Kabupaten Bantaeng. Sangat indah dan mempesona.

Dua bulan saya habiskan waktu bersama kesepuluh teman saya di desa ini dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mengabdi dan membantu masyarakat desa dalam konstribusi sebagai civitas akademika pada tanggungjawab terhadap Tri Darma Pendidikan yakni Pengabdian Masyarakat. Beruntung rasanya ketika pengumuman lokasi KKN dan saya salah satu yang ditempatkan di desa Loka. Pengalaman yang luar biasa bisa mengenal desa ini dan mengenal masyarakatnya dan kehidupan di dalamnya.

Kebun di Desa Loka

 

Berkenalan Dengan Loka.

Kalau di Jawa tengah memiliki Desa Dieng sebuah kaldera raksasa dari gunung Prahu dan di Jawa Timur punya Desa Batu di Malang maka Di Sulawesi Selatan juga memiliki desa agrowisata bernama Loka. Terletak di dalam Kecamatan Uluere, Desa Bontomarannu dan Desa Bonto Lojong namun lebih dikenal masyarakat luas dengan sebutan Loka. Berada di ketinggian antara 1070 m hingga 1300 m dari atas permukaan laut (mdpl), Desa Loka di Kecamatan Uluere sejak dulu dikenal sebagai desa agrowisata penghasil berbagai jenis sayuran dataran tinggi, seperti kol, wortel, buncis dan kentang. Dalam 3 tahun terakhir bahkan telah dibudidayakan buah stroberi dan apel.

Melewati jalan menanjak yang berkelak-kelok, dibutuhkan waktu sekita 1 jam dari pusat kota Banteng untuk menempuh jarak sekitar 24 km. Terbentang pemandangan eksotis yang memanjakan penglihatan sejauh mata memandang. Hijaunya perbukitan dan perkebunan jagung, langit biru yang cerah, masyarakat lokal yang masih beraktifitas, menyatu dalam harmonisasi alam yang berimbang.

Suasana Desa Loka

Masuk ke dalam Loka kita telah disambut dengan gapura besar bertuliskan ‘Selamat Datang Di Desa Agrowisata’ dan patung besar berbentuk berbagai jenis buah dan sayuran hasil bumi dari tanah tersebut. Di sepanjang jalan kita disuguhi bunga Krisan yang menjadi bunga andalan di desa ini bahkan untuk tahun kedepannya akan diekspor hingga ke Korea Selatan. Memasuki Desa Loka kita selolah memasuki ‘Desa Bunga’ lantaran hampir semua halaman rumah penduduk dijadikan kebun bunga. Indah dan sejuk.

Bunga Krisan yang cantik dari Loka

Hasil sayur-mayur petani Loka selain dipasarkan di wilayah Sulawesi Selatan, juga sejak lama sudah punya langganan tetap dengan sejumlah pedagang sayuran di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Timur. Apalagi sejak Pemerintah Kabupaten Bantaeng dalam kepemimpinan H. Nurdin Abdullah menetapkan wilayah Loka sebagai Kawasan Pengembangan Agro Wisata di Kabupaten Bantaeng.

Daerah yang terkenal dengan hawa dinginnya ini tidak hanya menawarkan pemandangan alam yang indah dan udara yang sejuk namun juga berbagai kuliner dan penganan yang bisa dinikmati di kawasan Loka. Tidak hanya apel dan stroberi, kentang di desa ini juga terkenal sangat lembut dan renyah dan menjadi makanan sehari-hari masyarakat desa. Kentang rebus yang segar dari kebun direbus dan diberi taburan serutan kelapa. Sangat lezat.

Kentang rebus khas Loka

Kulit Yang Kemerahan

Dataran tinggi Loka memberi keunikan tersendiri yang hingga saat ini masih bisa kita saksikan. Dengan suhu suhu rata-rata 18 derajat celcius memberikan keunikan tersendiri terhadap fisik masyarakat desa ini. Beberapa anak kecil di desa Loka memiliki kulit wajah yang putih dengan pipi yang kemerahan. Mengingatkan saya dengan kulit wajah orang-orang Mongolia dengan pipi yang kemerahan. Namun, tidak semua anak di Desa Loka memiliki pipi yang kemerahan.

Potensi Wisata

Berwisata di desa Loka kita bisa menikmati beragam wisata hanya dalam sehari. Dengan luas wilayah yang tidak begitu luas, semua dataran Loka merupakan tempat untuk kita bisa explore dalam agenda wisata. Objek wisata tersebut antara lain:

Loka Camp

Loka Camp merupakan sebuah lokasi Resort dan Outbound. Dibuka pertama kali tahun 2000, Loka Camp memberikan fasilitas outbound dengan konsep pelatihan di alam bebas. Telah banyak instansi baik dari sekolah, perguruan tinggi, maupun dari pemerintah ataupun korporasi yang melakukan pelatihan di tempta ini. Namun sayang dua tahun terakhir, Loka Camp telah jauh mengalami kemunduran dan tampak tidak terurus. Dibutuhkan tangan-tangan yang handal dan manajemen yang kuat untuk mengembalikan kejayaan Loka Camp seperti dulu. Saya pikir dengan perpindahan tangan ke pihak swasta akan memberi gairah positif kembali untuk pengelolaan dan promosi yang lebih baik kedepannya.

Kebun Stroberi dan Apel

Stroberi dari Loka

Stroberi dan apel menjadi daya tarik paling kuat saat ini untuk menghadirkan wisatawan berkunjung ke Loka. Ada 5 kebun stroberi dan apel yang telah dikelola warga desa. Para petani stroberi dan apel pun telah difasilitasi oleh Bupati Bantaeng dan diberi pelatihan langsung ke Batu Malang, desa yang telah berhasil membudidayakan apel dan menghasilkan apel khas Malang. Pengunjung yang akan masuk ke kebun stroberi diberi keranjang kecil dan boleh memetik stroberi pilihannya sesuka hati. Cukup dengan harga Rp. 40.ooo/kg stroberi yang kita petik sendiri boleh kita bawa pulang. Kebun stroberi yang sangat indah ketika musim petik datang. Seluruh kebun dihiasi stroberi yang berwarna merah dan sangat sedap dipandang.

Camping di Pemancar TVRI

Ketika hari berganti Sabtu dan malam telah menjelang, mulailah kawasan camping di kantor pemancar TVRI dipadati para muda-mudi yang ingin menghabiskan malam. Kawasan camping ini sebenarnya kantor pemancar TVRI yang ketika malam minggu disulap menjadi tempat rekreasi karena view yang diberikan dari atas ketinggian sangat memanjakan mata di malam hari. Dari kawasan pemancar kita bisa melihat kota Bantaeng di malam hari dan kerlap-kerlip lampunya. Ditemani udara yang sangat dingin dan sejuk serta kopi dan obrolan yang menyenangkan menjadikan malam Minggu di Pemancar sulit untuk dilupakan.

Pemandangan dari Pemancar TVRI di siang hari

Untuk pengembangannya, menurut saya sebaiknya dibuatkan resort yang khusus menampung para wisatawan yang akan camping atau disediakan lahan yang lebih luas dan lapang dan penyewaan tenda untuk camping sehingga para wisatawan bisa menikmati malam dibawah jutaan cahaya bintang dan kerlap-kerlip kota Bantaeng.

Hiking ke Gunung Loka

Gunung Loka juga bisa menjadi objek wisata yang punya potensi dan keunikan. Memiliki ketinggian hanya sekitar 50 meter. Sangat nyaman untuk mereka yang ingin mencoba hiking hingga ke puncak gunung tanpa harus melakukan persiapan yang ribet karena medannya cukup mudah dilalui dan nyaman untuk hiking bersama keluarga. Di atas puncak gunung Loka juga memberikan pemandangan yang menyegarkan mata. Kita bisa melihat sekaligus 3 kabupaten yang berada di sekitar Bantaeng yakni Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Banteng sendiri. Dari atas Gunung Loka kita juga bisa meilhat indahnya gunung Lompo Battang.

Pemandangan dari puncak Gunung Loka

Menikmati Hamparan Kebun Sayur, Buah dan Bunga

Sebagai desa agrowisata tentunya perkebunan sayur dan buah sangat menjanjikan untuk dijadikan objek wisata. Dengan membuat program berkebun bersama keluarga, para wisatawan bisa diberi edukasi mengenai berkebun dan sekaligus agro wisata. Bunga Krisan dan anggrek yang dibudidayakan oleh warga juga merupakan potensi untuk perekonomian masyarakat setempat. Telah banyak bunga hasil budidaya di Desa Loka yang telah dijual ke seluruh Sulawesi Selatan hingga ke luar propinsi dan bahkan ke luar negeri.

Kebun wortel di Desa Loka

 

Potensi wisata yang cerah dan luar biasa bisa dikembangkan oleh Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan. Terdapat setidaknya 3 lokasi wisata yang telah dikelola sebelumnya dengan jarak yang tidak terlalu jauh dengan Kabupaten Bantaeng. Malino, Loka, dan Tanjung Bira adalah kawasan wisata yang jika dapat diintegrasikan dengan baik akan menghasilkan jalur pintu wisata yang hebat. Jarak antara Loka dengan Malino (Gowa) hanya berjarak sekitar 25 km. Saat ini sudah ada mata jalan, tinggal memerlukan perbaikan dan pengaspalan jalan yang dapat menghubungkan Malino dan Loka. Obyek wisata pembuatan Perahu Tradisional Phinisi dan Pantai Bira di Kabupaten Bulukumba bisa menjadi kesatuan paket wisata di Selatan Sulawesi. Dengan ini diharapkan akan membuka jalur pintu gerbang baru untuk masuk ke Provinsi Sulawesi Selatan melalui wilayah selatan yang selama ini hanya jadi koridor wisata.

Dengan tulisan ini saya berharap potensi wisata dari Desa Loka bisa oleh masyarakat luas dan jadi cambuk agar untuk pengembangan agrowisata di Kecamatan Uluere khususnya kawasan Desa Loka.

Udara yang sejuk dan dingin, embun di pagi dan sore hari, pemandangan bibir pantai dari ketinggian, tanaman apel, stroberi dan berbagai jenis buah serta sayuran dan bunga yang indah dengan dinamika kehidupan petaninya merupakan obyek wisata menawan yang kita tidak akan temukan di kehidupan perkotaan.

 

Kotak Ajaib Bernama Komputer

Tags

, , , ,

Tulisan ini adalah sebagai bentuk partisipasi dalam project “Komputer Dan Pasar“. Sebuah project bersama dari berbagai komunitas yang ada di Makassar yang menapak tilas persentuhan pertama mereka dengan komputer. Program ini menjadi satu bagian dari proyek penelitian komputer yang berlangsung selama setahun, mulai Maret 2012 hingga Maret 2013—yang hasil akhirnya bakal berupa pameran dan penerbitan buku. Proyek penelitian ini akan menelisik perkembangan Kota Makassar dengan menggunakan kendaraan bernama ‘komputer’.

 

Yang tersisa dari komputer pertamaku

 

Gambar di atas adalah monitor pertama saya dalam sebuah perangkat komputer yang masih tersisa dan teronggok nyaman di gudang rumah. Entah apa dalam pikiran saya sampai saya rela untuk menaburkannya pilox berwarna merah. Maafkan saya monitorku.

Kita mundur dulu beberapa tahun yang lalu. Tepatnya sekitar tahun 1995, saat saya duduk di bangku kelas 3 SD. Saat itu saya berkunjung ke rumah sepupu untuk sebuah acara keluarga. Di tengah ramainya hajatan di rumah tersebut saya diajak oleh sepupu saya ke dalam kamarnya. Dia perkenalkan mainan barunya yang sangat ajaib untuknya, yaa sebuah perangkat komputer dengan monitor berwarna putih yang berdiri di sebuah CPU putih. Sangat cantik melihatnya untuk pertama kali. Dan, keajaiban selanjutnya pun berlanjut. Sepupu saya membuat sebuah gambar pesawat jet tempur dengan komputernya tersebut dan memberi warna di sekujur badan pesawat. Tampak aneh sebenarnya, sebuah jet tempur dengan warna yang beragam dan bercampur baur. Tidak seperti warna jet tempur yang saya lihat sebelumnya. Tetapi, apalah sebuah imaji seorang anak, saya dibuat takjub dan terkesima dengan alat super canggih ini.

Kembali takjub

Lama setelah pertemuan pertamaku dengan komputer sepupuku itu, saya belum pernah ‘berinteraksi’ kembali dengan kotak putih tersebut. Sampai di suatu hari, sekitar tahun 1998. Kala itu kakak saya yang sedang berada di bangku kuliah pulang ke rumah bersama temannya. Teman kakak saya tersebut membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak, seperti buku. Entah apa namanya dalam hatiku waktu pertama kali melihatnya. Seperti mesin ketik namum punya monitor yang berlayar datar. Layarnya berpendar dan nampak seksi sekali. Saya waktu itu yang masih berseragam merah-putih dibuat takjub sekali lagi. “Ini namanya laptop dek”, jawab kakak saya setelah saya menanyakan alat apa itu. Sebuah komputer yang diperkecil, dibuat minimalis dan portable. Tidak terlihat CPU yang besar dengan kipas anginnya yang ribut. Tidak terlihat keyboard yang terpisah dengan monitor, dan tidak memerlukan kabel-kabel yang banyak untuk menjalankannya. Semuanya bersatu dengan solid.

Selang waktu hingga beberapa saat lalu, saya kembali bertanya ke kakak saya. “Ingat tidak laptop yang pertama kali temanta bawa dulu di rumah? Itu laptop merek apa?”, jawab kakak saya, “Oh, itu mereknya Compaq Contura”. Nah, saya dapat jawabannya. Saya masih ingat, laptop itu merek Compaq namun lupa seri apa. Saya googling kembali mencari foto laptop jadul tersebut. Sangat mungil dengan fingerprint reader yang masih berbentuk bola ditengahnya. Ini dia wujudnya.

Compaq Contura

 

Si ahli komputer

Saya mempunyai seorang sepupu yang terpaut usia jauh dari saya (berbeda dengan sepupu yang saya ceritakan di atas). Dia sangat cerdas. Alumni pesantren Gontor, dan setelahnya melanglang buana di ibukota mencari ilmu di bidang IT. Sekitar tahun 1999 dia memutuskan untuk pulang kampung. Dia kembali ke Enrekang kampung halaman kami. Dialah orang pertama yang menyebarkan ‘wabah virus’ komputer di Enrekang sepengatahuan saya. Seperti tugas mulia seorang ulama penyebar ilmu, dia bagaikan ulama komputer untuk wilayah Enrekang dan sekitarnya.

Namanya Akmal. Yang saya ingat dari dia, berperawakan tinggi kurus dengan rambut gondrong dan rokok yang terus berasap seperti lokomotif kereta. Itu yang saya ingat dari dia sepuluh tahun yang lalu ketika terakhir bertemu. Dia membuka sebuah tempat toko komputer dan kursus komputer pertama di Enrekang. Semua orang datang padanya menimba ilmu dan bertanya apapun mengenai komputer. Transfer ilmu yang cukup berhasil sampai ia akhirnya memutuskan untuk pergi merantau kembali ke ibukota Jakarta.

Sudah sangat lama saya tidak bertemu lagi dengan dia. Orang yang juga pertama kali mengajarkan saya tentang komputer. Mungkin dia sudah jadi bos besar di sebuah perusahaan IT di Jakarta atau mungkin sudah menjadi ulama dalam artian yang lain.

Komputer pertama

Tahun 2000, saat itu orang tua saya akhirnya membelikan kami sebuah komputer yang sangat cantik. Monitor TVM berwarna putih dan sebuah CPU berdiri dengan merek yang sudah saya lupa. Dengan sistem operasi Windows ME (Millenium Edition) yang dibawanya, sentuhan pertama saya dengan komputer milik sendiri sangat menyenangkan. Bagaikan playground, saya seakan anak kecil yang diajak bermain ke dalam pabrik cokelat milik Charlie di film Charlie and The Chocolate Factory saking senangnya.

Cerita awal ketika komputer ini berada di rumah cukup panjang sebenarnya. Kakak saya yang ketika itu sibuk untuk mengurus tugas akhirnya. Ia harus menginap di kampus  dan di rumah temannya. Ibu saya pun memutar otak bagaimana agar kakak saya yang perempuan ini bisa menyelesaikan tugas akhirnya di rumah saja. Niat tulus ibu saya berbenturan dengan kondisi ekonomi keluarga kami waktu itu. “Bagaimanapun juga saya harus membeli perangkat komputer untuk anak saya ini, dan untuk adik-adiknya”, mungkin itu pikir ibu saya ketika itu. Ibu saya mencari jalan untuk membelinya padahal saat itu keadaan ekonomi keluarga kami sedang tidak baik dan harga sebuah komputer saat itu masih tinggi. Komputer adalah barang mewah untuk sebuah keluarga menengah ke bawah seperti kami.

Ibu saya menjual rumah kami yang kedua!

Yaa, ibu saya rela menjual rumah kami yang paling berharga di titik pusat kota Makassar. Setelah lama berkonsultasi dengan ayah saya yang ketika itu berada di Irian. Akhirnya, ibu saya memutuskan untuk menjual rumah yang sekaligus harta paling bernilai untuk keluarga kami. Rumah yang orang tua saya bangun sejak dulu untuk menjadi rumah masa depan keluarga kami. Rumah yang cukup besar di bilangan jalan Sungai Saddang Baru yang sedikit demi sedikit dibangun untuk anak-anaknya. Tiap minggu, hal yang paling menggembirakan untuk saya adalah pergi berkunjung ke calon rumah kami ini. Melihat tukang berkerja membangunnya dan saya pun asik membersihkan pekarangannya. Ada pohon rambutan di halaman depannya. Ruang tamu yang luas yang belum didempul dengan cat. Kamar saya yang di pojok kiri yang sudah saya kapling tidak boleh diambil oleh adik atau kakak saya.

Tapi ya, kadang semuanya tidak berjalan seperti keinginan kita. Semuanya harus di jual untuk sebuah alat yang dikatakan sebagai penemuan paling mutakhir abad 20.

Tidak ada yang perlu disesali karena dengan niat yang kuat untuk ilmu akan memberi ganjaran yang lebih baik untuk masa depan yang semoga lebih cerah.

Ini ceritaku tentang persentuhan saya dengan komputer. Bagaimana ceritamu? 🙂

Terima kasih.

 

Compaq Contura

Keluarga Itu Bernama Angingmammiri

Tags

, ,

Happy 5th Angingmammiri

 

Pertengahan 2007 perkenalan saya pertama kali dengannya. Ketika itu dihelat acara Blog For Life di mall PTC Makassar. Dengan info yang sekedarnya dan tidak memiliki teman untuk ke acara, saya pun memberanikan diri untuk hadir pada acara tersebut. Di sanalah saya bertemu dan mengenalnya. Sambutan yang hangat dan sangat tampak keakraban serta kekeluargaan di dalamnya. Dia adalah Angingmammiri, sebuah komunitas yang akhirnya menjadi keluarga saya hingga saat ini.

Saya sangat ingat, saat itu saya melihat semua anggota Angingmammiri mengenakan baju kaos seragam bertuliskan ‘Makassar Ngeblog Tonji’ (Makassar Juga Ngeblog). Kaos yang cukup menyentil saya untuk segera masuk ke dunia blog. Tulisan itu pula yang memberi suntikan semangat pada diri saya untuk bisa menulis dan merasakan kehidupan baru di dalam blogsphere.

Saya pun akhirnya memiliki blog, membuat tulisan, blogwalking, dan saling mengomentari tulisan narablog. Dan aktivitas yang menyenangkan itu semakin sempurna dengan lingkaran sebuah komunitas yang disatukan oleh ikatan emosional ‘anak Makassar’. Angingmammiri.

Dan konsekuensi yang harus diterima dalam sebuah komunitas online adalah masuk dalam lembah kopdar. Yak, akhirnya saya terjerumus dalam kegilaan kopdar. Kopdar yang dilakukan sekali seminggu bahkan lebih, saya pikir bukan kopdar lagi namanya. Tapi, saya ternyata menikmatinya dan justru disitulah keakraban tercipta. Komunitas ini betul-betul raja kopdar. Namun tidak sebatas kopdar. Masih banyak kegiatan AM yang dijalankan yang telah diprogramkan dalam setiap periode.

Di Usia 5 Tahun 

Kini, Angingmammiri telah menginjak umur 5 tahun. Banyak persahabatan, banyak cerita, banyak pertengkaran, problem, dan seluruh dinamika di dalamnya. Tetapi di atas semua itu, kita tetap bertahan dan merangkul semua sahabat untuk tetap semangat dalam menjaga dan membesarkan komunitas.

5 tahun, usia yang semakin bertambah dengan anggota yang semakin bertambah pula. Milis yang semakin ramai dan berbagai kegiatan online/offline yang semoga akan terus berlangsung. Banyak harapan yang dibebankan di usiamu yang sekarang ini. Tidak hanya menjadi tempat kumpul, tetapi tempat bagi kita berkarya untuk Makassar kita. Kota parasanganta’ (kampung halaman).

Angingmammiri adalah rumah. Tempat kita selalu kembali, berkumpul, dan melempar tawa. Keluarga yang selalu menyambut dengan suka cita dan penuh kehangatan. Senyuman kakak Paccarita (maskot AM) akan terus melengkung menghiasi tiap gerak dan langkah sahabat-sahabatnya.

Selamat ulang tahun ke-5 Angingmammiri. Tetap semangat dalam berkarya, semakin jaya dan terus bertahan. Gaungkan suaramu agar semua orang dapat mendengarnya.

EWAKO!!

Keluarga AM saat ultah ke-4

 

Trip Takabonerate. Paradiso Jinato & Tinabo Islands.

Tags

, ,

Pulau Tinabo yang eksotik

Kapal Cahaya Ilahi telah ramai oleh penumpang di jumat siang itu. Kapal dengan kapasitas hingga 200 orang ini akan membawa kami ke Pulau Jinato. Pulau Jinato termasuk dalam kawasan Taman Nasional Takabonerate dan merupakan pusat acara Takabonerate Islands Expedition (TIE).

Kapal Cahaya Ilahi yang kami tumpangi disewa khusus oleh Bupati Selayar untuk mengangkut para panitia TIE dan beberapa undangan, termasuk ikut di dalamnya istri dari Bupati Selayar.

Suasana di atas kapal Cahaya Ilahi

Menikmati perjalanan di haluan depan kapal.

8 jam perjalanan yang kami harus tempuh untuk sampai ke pulau Tinajo. Bukan menjadi masalah buat saya walaupun kita harus menempati haluan depan kapal karena penuhnya penumpang. Tapi menjadi masalah besar ketika saya tiba-tiba menderita sakit perut hingga mencret-mencret selama di atas kapal (mungkin karena pedisnya makanan Padang yang saya makan sebelumnya).

Malangnya saya, harus 4 kali bolak-balik wc kapal yang hanya ada 1 buah. Ditambah lagi ketika antrian yang banyak oleh orang yang ingin buat hajat. Masuk dalam wc, saya kembali bingung tidak menemukan air dalam ember. Saya keluar bertanya ke seorang bapak yang juga ikut mengantri, “Pak, airnya ambil dimana?”,  si bapak itu menjawab, “Ambil langsung dari laut dek, timba dulu airnya dari lubang itu, tampung di ember”.What? Hahaha. Ambil air dan buang air di lubang yang sama. “Ok, baiklah”, kata saya dalam hati yang hanya bisa senyum-senyum kecut.

‘Penderitaan’ saya cukup terobati dengan pemandangan sunset yang kembali kami dapat tepat di tengah laut. Kata Daeng Nuntung, biasanya kita bisa melihat beberapa ikan paus sepanjang perjalanan ke pulau Jinato, tapi sayang hari itu kita kurang beruntung. Ikan paus hari itu rupanya malu-malu menampakkan diri.

Sunset yang kedua.

 

Sampai di Pulau Jinato

Pukul 10 malam kami sampai di pulau Jinato. Kapal tidak langsung merapat ke dermaga karena kapal yang cukup besar tidak boleh merapat disebabkan adanya rataan karang yang sangat luas di sekeliling pulau. Kapal akan mengalami kandas dan merusak padang karang sehingga tidak boleh sampai ke dermaga. Kurang lebih 2 km dari dermaga kapal sudah harus menurunkan jangkarnya. Rombongan dijemput oleh beberapa kapal kecil katinting yang telah disiapkan yang dipimpin langsung oleh bapak camat setempat.

Di atas perahu katinting yang mengantar kami ke dermaga, dalam keadaan malam yang gelap dengan bantuan senter, saya bisa melihat sendiri indahnya rataan terumbu karang yang menghiasi pulau Jinato.

Setibanya di pulau Jinato, pusat kegiatan TIE III, kami langsung disambut oleh anak sekolah lengkap dengan seragam sekolahnya dan menuntun kami ke rumah Pak Desa. Jamuan makan malam telah disiapkan untuk seluruh tamu. Setelah itu kami rombongan blogger diantar ke salah satu rumah warga untuk beristirahat.

Pulau Jinato sendiri menurut saya cukup berkembang dibandingkan pulau-pulau kecil yang pernah saya datangi. Pulau yang penghuninya sebagian besar berasal dari suku Bugis Sinjai ini cukup baik dalam taraf ekonomi. Hal itu bisa dilihat dari rumah-rumah yang dibangun di pulau ini yang cukup bisa dibilang ‘mewah’ dalam sebuah pulau kecil.

Perjalanan ke Pulau Tinabo

Teh hangat, kue, dan mie instan menjadi sarapan kami di pagi hari di pulau Jinato. Pagi itu kita sudah bersiap berangkat ke pulau Tinabo yang merupakan pulau utama kunjungan para pelancong ke kepulauan Takabonerate.

Perahu yang kami tumpangi telah merapat. Sebelumnya, kami menyempatkan diri untuk singgah ke markas Jagawana Takabonerate, polisi perairan yang bertugas menjaga 220.000 hektar luasnya perairan Takabonerate dari tangan-tangan jahil.

Markas Jagawana Takabonerate. foto: daenggassing.com

Dibutuhkan sekitar 2 jam perjalanan laut dari pulau Jinato ke pulau Tinabo. Sekali lagi, kami disuguhkan pemandangan yang luar biasa indah oleh padang atol yang terbentang luas dan ragam ikan laut berlalu-lalang. Kawasan ini adalah atol ketiga terbesar di dunia atau terbesar di Asia Tenggara.

Topografi Takabonerate sangat unik dan menarik, di mana atol yang terdiri dari gugusan pulau-pulau gosong karang dan rataan terumbu yang luas dan tenggelam, membentuk pulau-pulau dengan jumlah yang cukup banyak. Total ada 21 pulau dalam gugusan ini dan 8 diantaranya berpenghuni.

 

 

Tinabo yang eksotik

Dermaga Tinabo dipenuhi umbul-umbul yang menyambut kami dengan cerah. Hari itu cuaca nampak terik namun tidak menyurutkan kami untuk menikmati indahnya bawah laut pulau Tinabo. Anak pantai tidak pernah takut dengan terik matahari yang menghitamkan kulit.

Belum selesai takjub dengan keindahan pulau dan laut yang bening seperti cermin, kami disuguhkan lagi dengan pemandangan yang unik oleh ribuan ikan Lure yang bergerombol membentuk formasi yang sangat indah tepat dibawah dermaga labuhan.

Yang hitam itu adalah ribuan ikan Lure.

Kami disambut hangat oleh Asri dan beberapa anggota Sileya Scuba Divers (SSD Sileya) yang memfasilitasi kami selama di Tinabo. Setelah beristirahat sejenak di bawah sebuah gazebo, kami pun mengganti baju, mengoles sunblock, dan meluncur ke laut bening.

Ada banyak fasilitas ‘bermain’ air yang disediakan oleh pengelola. Selain peralatan dive dan snorkle juga tersedia perahu kano, speedboat hingga banana boat. Secara keseluruhan, fasilitas wisata yang ada di Tinabo ini sudah lengkap. Terdapat tiga villa yang cukup nyaman, aula besar, beberapa gazebo dan wc umum yang bersih, juga terdapat beberapa tenda pleton yang dapat digunakan ketika wisatawan banyak dan juga ada dapur umum yang menyajikan masakan laut yang tentu nikmat.

Saya dan teman blogger yang lain menikmati indahnya terumbu karang yang masih terawat alami dengan melakukan snorkling. Cikal, lebih memilih bermain kano dulu sebelum turun ke laut. Daeng Syamsoe, selain bersnorkling juga mencoba dive intro yang dibimbing langsung oleh bapak Jamil Nadzrun, seorang instruktur selam dari Sileya Scuba Divers dan juga petugas TN Takabonerate.

Beruntung kami dipinjamkan kamera underwater oleh Mude Zulkifli, teman dari SSD. Jadi kami bisa mengabadikan setiap momen yang sangat luar biasa di bawah laut Taman Nasional Takabonerate.

Padang terumbu yang indah

 

Ikan-ikan yang berwana cantik.

 

Yuhuuu.. akhirnya bisa snorkling lagi.

Daeng Nuntung in action

 

K' ning (istri Dg. Nuntung) tidak kalah hebat urusan menyelam.

 

Pak Jamil dengan 7D dan housingnya yang bikin ngiler.

 

Snorkling & diving. Taken from: denun.net

Tidak jauh dari pesisir pantai yang dipenuhi terumbu karang, beberapa meter setelahnya langsung dihadapkan oleh palung dalam yang juga menampilkan kekayaan alam yang memanjakan mata. Karang memiliki pertumbuhan yang sangat lambat, hanya sekitar 1-2 cm per tahun sehingga kami selalu diingatkan untuk tidak menginjak karang yang rapuh. Terdapat juga beberapa titik transplantasi karang yang menjadi program konservasi Taman Nasional. Budidaya terumbu karang tersebut menambah keelokan Takabonerate.

Goodbye Tinabo

Tidak terasa jam menunjukkan pukul 13.oo. Setelah lebih dari 2 jam bermain air, satu per satu kami kembali naik ke dermaga. Yulivya dan Asri dari SSD menyajikan kami makan siang yang sangat nikmat. ikan bakar, ikan goreng, sambel dan sayur kacang langsung saya lahap dengan puas. Perut keroncongan setelah snorkling terbalas dengan makanan laut yang segar langsung dari perairan sekitar.

Hari itu, serasa ingin mengulanginya lagi, ingin berlama-lama di Tinabo, tetapi sebuah trip yang indah pasti harus bertemu kata akhir.

Sore hari, perahu Haji Kusa’ yang menjemput kami telah merapat. Kami harus menginggalkan Tinabo menuju Pelabuhan Pattumbukang di selatan pulau Selayar kembali ke kota Benteng Selayar dan selanjutnya kembali ke Makassar keesokan harinya.

5 jam perjalanan laut kami tempuh dengan sebuah perahu kecil. Di sini, di tengah laut Flores, kembali saya menyaksikan sunset untuk hari ketiga secara berturut-turut dengan 3 jenis kapal yang berbeda. Momen tersebut tentu  tidak kami lewatkan untuk tidak mengambil foto. Saya, Vby, K’ Cikal, K’ Anchu dan Dg. Ipul, bergantian berfoto di ujung haluan perahu yang berhadapan langsung dengan matahari yang mulai menyingsing.

Angin laut, siluet cahaya matahari, dan gemuruh mesin perahu serta ribuan kerlap-kerlip bintang di malam harinya memberikan suasana yang sulit untuk saya bahasakan dan tentunya tak akan pernah terlupakan.

 “One’s destination is never a place, but a new way of seeing things.” – Henry Miller

Trip Takabonerate. Perjalanan Menuju Taman Laut Yang Mempesona.

Tags

, , , ,

I ♥ Laut

Bermula dari sebuah email yang dikirim Pak Presiden ISLA, Daeng Nuntung di milis AM. Email tersebut berisi undangan dari Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Selayar yang mengajak beberapa blogger untuk berkunjung ke acara Takabonerate Islands Expedition (TIE) yang ketiga.

Tanpa berpikir panjang saya langsung membalas email tersebut untuk mendapatkan satu tempat di acara tersebut. Kapan lagi bisa trip gratis ke Taman Nasional Takabonerate dengan gratis. tis. tis.

Perjalanan Ke Pulau Selayar.

Kamis pagi (17/11/2011) saya sudah berada di Terminal Malengkeri bersama teman-teman blogger yang lain. Total ada 9 pasukan Angingmammiri yang ikut dalam trip ini. Daeng Nuntung sebagai ketua rombongan bersama istri, Daeng Ipul, Daeng Mappe, Daeng Syamsoe, K’ Cikal, dan Vby, serta tambahan K’ Anchu yang kebetulan berada di Bulukumba dan ikut gabung dalam rombongan trip.

Perjalanan kami pukul 9 pagi kami berangkat mengendarai bus Aneka yang melayani angkutan penumpang Makassar – Selayar. Baru pada sore hari pukul 4 kami sampai di Pelabuhan Beru di Kabupaten Bulukumba. Untuk mencapai Kabupaten Selayar kami harus menyeberang pulau menumpangi kapal Ferry. Pulau Selayar adalah satu-satunya Kabupaten di Sulawesi Selatan yang berupa pulau dan terpisah dari daratan pulau Sulawesi. Dan untuk mencapai kepulauan Takabonerate kami harus melewati Pulau Selayar dahulu. Sungguh perjalanan menuju ‘surga’ itu panjang.

Selayar - Google Maps

Ini adalah pengalaman pertama saya ke pulau Selayar dan yang pertama juga naik kapal ferry. Beruntung kapalnya berlabuh di sore hari sehingga kami disuguhkan pemandangan sunset yang indah dari atas kapal dan berada di tengah laut Flores.

Sunset dari laut Flores

Dua jam lebih perjalanan kapal ferry akhirnya kami sampai di Pelabuhan Pamatutu, pelabuhan di utara pulau Selayar. Bus selanjutnya mengantarkan kami ke kota Benteng, ibukota Kabupaten Selayar, 50 km dari Pelabuhan Pamatutu.

Pukul 9 malam kami akhirnya sampai di kota Benteng dan langsung menuju tempat pengisian lambung. Perjalanan yang panjang cukup menguras energi dan membuat capai. Rumah makan Padang jadi tempat pilihan makan malam yang ternyata bersebelahan dengan kantor Tinabo Dive Center. Setelah makan malam, kami mampir sebentar ke Tinabo Dive Center bertemu dengan beberapa anggota dari Sileya Scuba Divers.

Berkunjung ke rumah Kadis Pariwisata Selayar

Setelah berkunjung ke Tinabo Dive Center, kami langsung menuju ke kediaman Bapak Andi Mappagau, Kadis Pariwisata Kabupaten Selayar. Berbincang banyak mengenai kepulauan Takabonerate yang merupakan gugusan atol terbesar ketiga di dunia. Mengenai prospek pariwisata kedepannya dan beberapa tantangan yang menghinggapi pengelolaan Taman Nasional ini. Perbincangan yang hangat dan jamuan yang ramah oleh bapak Kadis Pariwisata.

Sekitar pukul 11 malam, kami tiba di penginapan yang telah disiapkan oleh bapak Kadis. Hanya sempat menaruh barang bawaan dan mandi, kami berangkat lagi ke tempat berkumpul teman-teman dari Sileya Scuba Divers. Tepatnya di Cafe TB @KafeTempatBiasa. Kafe ini menjadi basecamp Sileya Scuba Divers dan para aktivis kelautan serta diver yang mampir ke Selayar. Majalah DiveMag Indonesia juga menjadikan tempat ini sebagai pickup points untuk kawasan Sulawesi Selatan.

Kafe Tempat Biasa

Saya melihat kekompakan yang luar biasa dari teman-teman SSD (Sileya Scuba Divers). Semangat yang mempersatukan mereka untuk menjaga dan mengedukasi masyarakat agar melestarikan taman laut di seluruh kepulauan Selayar dan Takabonerate pada khususnya. Kecintaan terhadap laut yang menggerakkan mereka walau berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Malam itu kami isi dengan diskusi yang panjang tentang segala informasi mengenai gugusan pulau yang ada di Kabupaten Selayar serta berbagai keunikannya.

Jarum jam menunjukkan angka 1. Sudah larut malam untuk mengakhiri hari yang menyenangkan. Kami kembali ke penginapan dan beristirahat mengembalikan energi untuk trip sesungguhnya di hari berikutnya.

Menyeberang ke Pulau Gusung

Pulau Gusung merupakan pulau yang berhadapan langsung dengan kota Benteng, ibukota Selayar. Pagi itu, cuaca pulau Selayar nampak sangat cerah. Kami sudah berada di dermaga Rauh Rahman untuk menyeberang ke Pulau Gusung. Menaiki katinting yang sesak diisi 11 penumpang termasuk 2 guide dan seorang ‘supir’ perahu.

Dibutuhkan waktu 30 menit untuk sampai ke Pulau Gusung. Perahu merapat dan kami disambut dengan padang lamun  dan terumbu cantik yang terlihat jelas oleh jernihnya air. Pulau ini merupakan sentra penghasil kelapa. Tidak heran, pulaunya dipenuhi oleh ribuan pohon kelapa yang menjulang tinggi. Di pulau ini juga terdapat peninggalan pabrik kakao yang dibangun oleh pemerintah Belanda.

Peninggalan Belanda

Ditinggali oleh sekitar 200 kepala keluarga yang terbagi atas 3 dusun. Pulau ini menyajikan pemandangan laut yang indah dengan pasir putih seperti putihnya tepung. Sayang sekali, saat kami datang air laut sangat surut sehingga rencana untuk snorkling akhirnya dibatalkan. Kami hanya berjalan mengelilingi pulau sambil mengambil beberapa foto.

Ribuan pohon kelapa di Pulau Gusung

Pulau Gusung terbagi menjadi 2 daratan, yakni Gusung Tallang dan Gusung Lengo’. Pulau tersebut awalnya bersatu namun di tahun 70′ terjadi badai besar yang memisahkan pulau tersebut. Dengan kerja sama dari masyarakat desa, mereka membangun desanya. Mereka membangun jembatan kayu untuk menyatukan kembali  Gusung Tallang dan Gusung Lengo’. membangun jalan setapak beton yang memudahkan aktivitas masyarakat desa dan genset untuk keperluan listrik.

Perbedaan pasang dan surut yang sangat jauh

 

Jembatan Pulau Gusung

 

Jalan setapak di Pulau Gusung

Menjelang siang hari, kami meninggalkan Pulau Gusung dan kembali ke Benteng. Bersiap untuk perjalanan panjang ke Pulau Jinato dan Tinabo yang merupakan destinasi utama trip kami.

Sampai bertemu di Pulau Tinabo…..

 

Tanam Perdana Makassar Berkebun.

Tags

, ,

Makassar Berkebun

Minggu pagi (13/11/2011) disambut cuaca yang cerah menghiasi kota Makassar. Sekitar pukul 8 pagi saya sudah berada di sebuah kebun di daerah GTC Tanjung Bunga. Hari ini adalah tanam perdana bersama teman-teman dari Makassar Berkebun. 🙂

2 pekan sebelumnya, teman-teman dari penggiat Makassar Berkebun telah bekerja mempersiapkan lahan untuk ditanam. Lahan tempat mereka bertani adalah milik Bosowa Foundation yang diamanahkan untuk mereka kelola. Telah dibuat lubang-lubang pada 12 gundukan tanah bedeng yang telah digemburkan dengan ukuran 1 x 10 meter. Luas lahan tersebut sekitar 100 meter persegi dengan pagar tembok setinggi 2 meter. Hanya sebagian lahan itu yang dijadikan kebun. Sisanya masih berupa rawa.

Tanam perdana oleh Pak Camat

Pagi itu sekitar 50 teman-teman dari Makassar Berkebun dan teman-teman dari berbagai komunitas hadir meramaikan acara tanam perdana. Hadir juga perwakilan dari Bosowa Foundation, Kepala Camat Kecamatan Tamalate serta tentu saja ketua Makassar Berkebun, Wahyudin Mas’ud.

Acara tanam perdana dibuka resmi oleh Bapak Camat setempat dengan menanam sejumlah bibit sayuran. Dan secara berturut-turut dilakukan oleh perwakilan Bosowa Foundation dan ketua Makassar berkebun serta wali kebun. Lalu kemudian semua teman-teman yang hadir diberi bibit sayuran untuk menanam sendiri di bedengan yang telah disiapkan.

Tanam perdana  ini kami telah menanam 4 bedeng yang berisi bibit jagung, 1 bedeng selada, 1 bedeng kacang panjang, 3 bedeng kangkung, dan 3 bedeng sayur bayam. Selanjutnya, kami menunggu 2-3 minggu kedepan untuk melihat hasil yang telah ditanam oleh teman-teman.

Menanam bibit di atas bedeng

Untuk pemeliharaan kebun secara berkala, telah dibuat jadwal piket menyiram dan memelihara kebun bagi teman-teman Makassar Berkebun. Jadwal penyiraman dilakukan tiap hari pagi dan sore dan di hari Minggunya merupakan pertemuan besar untuk semua teman-teman Makassar Berkebun.

Bedeng yang siap ditanam

Sekitar pukul 11 pagi, setelah acara tanam perdana selesai, saya mewakili dari Makassar Tidak Kasar memberi kuis untuk menambah keceriaan suasana berkebun. 2 paket hadiah berupa buku dan voucher makan diberikan pada kuis itu. Sangat menggembirakan bisa berbagi senyum dan tawa bersama teman-teman petani kota.

Melihat antusiasme teman-teman yang hadir pada tanam perdana, menunjukkan bahwa anak muda Makassar juga ingin melihat kotanya hijau.  Ayo Makassar juga bisa.

Ternyata, berkebun itu sangat menyenangkan teman.

Ayo mari berkebun.

November Ceria. Setahun Tanah Indie.

Tags

, , ,

Tanggal cantik 11/11/11 tidak hanya dimeriahkan oleh banyaknya pasangan yang menggelar pernikahan di hari tersebut, tidak hanya ibu yang ‘memaksakan’ untuk memberi tanggal cantik untuk kelahiran anaknya dan tidak hanya gelaran akbar pembukaan Sea Games 2011.

Di tanggal itu juga di teman-teman dari Tanah Indie merayakan ulang tahunnya yang pertama yang diberi tema ‘November Ceria’.

Siang hari yang terik di Taman Segitiga KPJ. Berkumpul sejumlah komunitas kreatif di Makassar melukis bersama membuat mural.

Mural yang dibuat sebagai aksi terhadap ruang publik yang kian sempit karena baliho yang memenuhi kota sehingga memberi dampak polusi bagi masyarakat. Polusi visual.

Seni Rupa UNM menggambari baliho. (foto: Sapriady Putra)

Mural yang dibuat diambil dari beberapa baliho yang sudah kadaluarsa di beberapa titik di kota Makassar. Dari baliho tersebut dibuatlah suatu karya seni lukis dengan pesan-pesan yang ada di dalamnya berupa harapan untuk Makassar yang lebih indah ke depannya.

Komunitas-komunitas kreatif Makassar yang turut dalam kegiatan ini antara lain UKM Seni UMI, Kedai Buku Jenny, Hijau Himahi Unhas, Rumah Ide Makassar, RenWarin Management, Abba Art Studio, Kasumba, sejumlah mahasiswa Seni Rupa UNM, Indonesia Sketcher Makassar, dan Tanahindie. Beberapa seniman tampak hadir seperti Rimba, Zaenal Beta, dan Firman Djamil. – Tanah Indie

Kolaborasi Abba Art Studio dan Ren Warin Management. (foto: Sapriady Putra)

Kumpul Komunitas

Malam harinya, bertempat di Kampung Buku. Sejumlah komunitas kreatif kembali berkumpul untuk merayakan setahun Tanah Indie. Jalanan yang berhadapan tepat di depan Kampung Buku ditutup untuk acara dan dijadikan tempat berkumpul.

Komunitas yang bergerak di bidang sosial ikut hadir seperti Komunitas Pecinta Anak Jalanan (KPAJ) dan AcSI (Active Society Institute). Juga hadir pasukan rusuh dari Angingmammiri yang tidak pernah absen di tiap acara kumpul-kumpul.

Acara yang sangat meriah dan banyak hiburan yang disajikan oleh teman -teman berbagai komuitas kreatif seperti HipMacz, komunitas rap Makassar, Rumah Ide Makassar (RIM), Flasmob Makassar, GaSS (Galeri Seni STIEM Bongaya), dan hiburan akustik dari The Paparipi dan Eros ft. Mizwa.

Ikut memeriahkan sebagai buzzer acara, akun twitter yang cukup berpengaruh di kalangan anak muda Makassar. @mkstdkksr gerakan kampanye damai “Makassar Tidak Kasar” dan @SupirPete2 kamus berjalan yang berisi informasi apapun mengenai Makassar.

 

November Ceria

Hipmacz dalam November Ceria. (foto: Wanto)

Selamat ulang tahun Tanah Indie. Tetap berkarya untuk Makassar tercinta.