Tags

, , , ,

Tulisan ini adalah sebagai bentuk partisipasi dalam project “Komputer Dan Pasar“. Sebuah project bersama dari berbagai komunitas yang ada di Makassar yang menapak tilas persentuhan pertama mereka dengan komputer. Program ini menjadi satu bagian dari proyek penelitian komputer yang berlangsung selama setahun, mulai Maret 2012 hingga Maret 2013—yang hasil akhirnya bakal berupa pameran dan penerbitan buku. Proyek penelitian ini akan menelisik perkembangan Kota Makassar dengan menggunakan kendaraan bernama ‘komputer’.

 

Yang tersisa dari komputer pertamaku

 

Gambar di atas adalah monitor pertama saya dalam sebuah perangkat komputer yang masih tersisa dan teronggok nyaman di gudang rumah. Entah apa dalam pikiran saya sampai saya rela untuk menaburkannya pilox berwarna merah. Maafkan saya monitorku.

Kita mundur dulu beberapa tahun yang lalu. Tepatnya sekitar tahun 1995, saat saya duduk di bangku kelas 3 SD. Saat itu saya berkunjung ke rumah sepupu untuk sebuah acara keluarga. Di tengah ramainya hajatan di rumah tersebut saya diajak oleh sepupu saya ke dalam kamarnya. Dia perkenalkan mainan barunya yang sangat ajaib untuknya, yaa sebuah perangkat komputer dengan monitor berwarna putih yang berdiri di sebuah CPU putih. Sangat cantik melihatnya untuk pertama kali. Dan, keajaiban selanjutnya pun berlanjut. Sepupu saya membuat sebuah gambar pesawat jet tempur dengan komputernya tersebut dan memberi warna di sekujur badan pesawat. Tampak aneh sebenarnya, sebuah jet tempur dengan warna yang beragam dan bercampur baur. Tidak seperti warna jet tempur yang saya lihat sebelumnya. Tetapi, apalah sebuah imaji seorang anak, saya dibuat takjub dan terkesima dengan alat super canggih ini.

Kembali takjub

Lama setelah pertemuan pertamaku dengan komputer sepupuku itu, saya belum pernah ‘berinteraksi’ kembali dengan kotak putih tersebut. Sampai di suatu hari, sekitar tahun 1998. Kala itu kakak saya yang sedang berada di bangku kuliah pulang ke rumah bersama temannya. Teman kakak saya tersebut membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak, seperti buku. Entah apa namanya dalam hatiku waktu pertama kali melihatnya. Seperti mesin ketik namum punya monitor yang berlayar datar. Layarnya berpendar dan nampak seksi sekali. Saya waktu itu yang masih berseragam merah-putih dibuat takjub sekali lagi. “Ini namanya laptop dek”, jawab kakak saya setelah saya menanyakan alat apa itu. Sebuah komputer yang diperkecil, dibuat minimalis dan portable. Tidak terlihat CPU yang besar dengan kipas anginnya yang ribut. Tidak terlihat keyboard yang terpisah dengan monitor, dan tidak memerlukan kabel-kabel yang banyak untuk menjalankannya. Semuanya bersatu dengan solid.

Selang waktu hingga beberapa saat lalu, saya kembali bertanya ke kakak saya. “Ingat tidak laptop yang pertama kali temanta bawa dulu di rumah? Itu laptop merek apa?”, jawab kakak saya, “Oh, itu mereknya Compaq Contura”. Nah, saya dapat jawabannya. Saya masih ingat, laptop itu merek Compaq namun lupa seri apa. Saya googling kembali mencari foto laptop jadul tersebut. Sangat mungil dengan fingerprint reader yang masih berbentuk bola ditengahnya. Ini dia wujudnya.

Compaq Contura

 

Si ahli komputer

Saya mempunyai seorang sepupu yang terpaut usia jauh dari saya (berbeda dengan sepupu yang saya ceritakan di atas). Dia sangat cerdas. Alumni pesantren Gontor, dan setelahnya melanglang buana di ibukota mencari ilmu di bidang IT. Sekitar tahun 1999 dia memutuskan untuk pulang kampung. Dia kembali ke Enrekang kampung halaman kami. Dialah orang pertama yang menyebarkan ‘wabah virus’ komputer di Enrekang sepengatahuan saya. Seperti tugas mulia seorang ulama penyebar ilmu, dia bagaikan ulama komputer untuk wilayah Enrekang dan sekitarnya.

Namanya Akmal. Yang saya ingat dari dia, berperawakan tinggi kurus dengan rambut gondrong dan rokok yang terus berasap seperti lokomotif kereta. Itu yang saya ingat dari dia sepuluh tahun yang lalu ketika terakhir bertemu. Dia membuka sebuah tempat toko komputer dan kursus komputer pertama di Enrekang. Semua orang datang padanya menimba ilmu dan bertanya apapun mengenai komputer. Transfer ilmu yang cukup berhasil sampai ia akhirnya memutuskan untuk pergi merantau kembali ke ibukota Jakarta.

Sudah sangat lama saya tidak bertemu lagi dengan dia. Orang yang juga pertama kali mengajarkan saya tentang komputer. Mungkin dia sudah jadi bos besar di sebuah perusahaan IT di Jakarta atau mungkin sudah menjadi ulama dalam artian yang lain.

Komputer pertama

Tahun 2000, saat itu orang tua saya akhirnya membelikan kami sebuah komputer yang sangat cantik. Monitor TVM berwarna putih dan sebuah CPU berdiri dengan merek yang sudah saya lupa. Dengan sistem operasi Windows ME (Millenium Edition) yang dibawanya, sentuhan pertama saya dengan komputer milik sendiri sangat menyenangkan. Bagaikan playground, saya seakan anak kecil yang diajak bermain ke dalam pabrik cokelat milik Charlie di film Charlie and The Chocolate Factory saking senangnya.

Cerita awal ketika komputer ini berada di rumah cukup panjang sebenarnya. Kakak saya yang ketika itu sibuk untuk mengurus tugas akhirnya. Ia harus menginap di kampus  dan di rumah temannya. Ibu saya pun memutar otak bagaimana agar kakak saya yang perempuan ini bisa menyelesaikan tugas akhirnya di rumah saja. Niat tulus ibu saya berbenturan dengan kondisi ekonomi keluarga kami waktu itu. “Bagaimanapun juga saya harus membeli perangkat komputer untuk anak saya ini, dan untuk adik-adiknya”, mungkin itu pikir ibu saya ketika itu. Ibu saya mencari jalan untuk membelinya padahal saat itu keadaan ekonomi keluarga kami sedang tidak baik dan harga sebuah komputer saat itu masih tinggi. Komputer adalah barang mewah untuk sebuah keluarga menengah ke bawah seperti kami.

Ibu saya menjual rumah kami yang kedua!

Yaa, ibu saya rela menjual rumah kami yang paling berharga di titik pusat kota Makassar. Setelah lama berkonsultasi dengan ayah saya yang ketika itu berada di Irian. Akhirnya, ibu saya memutuskan untuk menjual rumah yang sekaligus harta paling bernilai untuk keluarga kami. Rumah yang orang tua saya bangun sejak dulu untuk menjadi rumah masa depan keluarga kami. Rumah yang cukup besar di bilangan jalan Sungai Saddang Baru yang sedikit demi sedikit dibangun untuk anak-anaknya. Tiap minggu, hal yang paling menggembirakan untuk saya adalah pergi berkunjung ke calon rumah kami ini. Melihat tukang berkerja membangunnya dan saya pun asik membersihkan pekarangannya. Ada pohon rambutan di halaman depannya. Ruang tamu yang luas yang belum didempul dengan cat. Kamar saya yang di pojok kiri yang sudah saya kapling tidak boleh diambil oleh adik atau kakak saya.

Tapi ya, kadang semuanya tidak berjalan seperti keinginan kita. Semuanya harus di jual untuk sebuah alat yang dikatakan sebagai penemuan paling mutakhir abad 20.

Tidak ada yang perlu disesali karena dengan niat yang kuat untuk ilmu akan memberi ganjaran yang lebih baik untuk masa depan yang semoga lebih cerah.

Ini ceritaku tentang persentuhan saya dengan komputer. Bagaimana ceritamu? 🙂

Terima kasih.

 

Compaq Contura