Tags

, , ,

Boleh dikatakan saya ini anak rumahan, maksudnya sering di rumah si A dan kadang berpindah ke rumah si B. Gara-gara saya kepanasan dan kegerahan tinggal di kamar sendiri dan mendengar keluhan dari dalam diri sendiri. Mulut dari saudara saya pun keluar ucapan, “Siapa suruh banyak dosa cal. Latihan dulu di kamar kepanasan biar di neraka sudah biasa”. Dan, panas membara itu masih berlanjut sampai saya menuliskan ini di kamar saya ini.

Maunya senang saja

Tentu panasnya kamar saya akan berlanjut lagi hingga ke luar rumah. Merasakan panasnya kota ini yang katanya punya 3 matahari di siang hari, seperti bendiri di kompor minyak yang sedang menyala. Dan seperti biasa, keluhan atau komentar dari mulut saya yang bau. “Kalau panas situ kesal, kalau dingin juga mengeluh. Jadi mau kamu apa cal?”

Mau saya banyak. Jadi begini, kalau hujan deras itu ya sebentar saja, terus ganti panas lagi, dan kalau bisa bukan panas yang terik, tetapi panas yang memberikan rasa sejuk. Sebaliknya kalau panas, sebentar saja panasnya, kemudian hujan untuk mendinginkan, tetapi jangan sampai menjadi badai dan mengundang angin untuk memporak-poranda. Contoh lain, jika saya sakit, maunya yang ringan saja dan sebentar, karena sakit itu kan penebus dosa. Saya maunya dosa saya yang banyak dapat ditebus dengan sakit yang ringan dan sembuh secepat kilat. Untuk urusan senang-senang, saya maunya seumur hidup abadi sampai akhir hayat.

Dari celoteh saya di atas sudah cukup menggambarkan saya yang seorang manja, cengeng, dan mudah putus asa. Menderita pasti akan dihadapi tiap orang tapi rasanya saya sebagai manusia tak ingin sengsara, senang-senang saja. Tetapi, orang bijak selalu berkata, untuk merasakan hidup bahagia yang seutuhnya harus bisa meresapi kesengsaraan secara dalam hingga kesenangan yang diraih akan lebih terasa nikmatnya.

Hidup yang utuh

Hidup yang utuh itu seperti apa? Pikiran dangkal saya mendefinisikan bahwa utuh itu yaa tercapainya kebutuhan fisik dan rohani. Tercukupi-walaupun-tidak-semua- keinginan-keinginan kebanyakan orang. Saya ingin mengerti utuh itu yang sesungguhnya. Memahami kesengsaraan dan ketidaksengsaraan. Kecukupan ataupun kekurangan.

Jiwa saya yang manja dan memang kurang ajar ini pun maunya yang enak-enak saja. Kerja leyeh-leyeh tetapi harta melimpah, muka pas-pasan tetapi ceweknya secantik Mary Elizabeth Winstead, ibadah yang malas-malasan tetapi maunya surga Firdaus.

Kalau saya berdoa, yang saya panjatkan pun isinya tidak lebih seperti doa anak TK. Saya masih ingat, di umur seusia SD sehabis sholat magrib di waktu belajar mengaji. Ketika saya menginginkan sebuah Playstation, doa yang saya kirim hanya sedangkal, “Ya Alloh, berilah saya sebuah PS, jadi saya tidak perlu lagi ke tempat rental“. Dan, hingga sekarang kedangkalan doa saya itu masih dibawa sampai sekarang. Ya Alloh, berilah saya IP yang tinggi dan sarjana secepatnya. Ya Alloh, berilah saya pasangan hidup yang terbaik. Ya Alloh, berilah saya harta yang melimpah. Isi doa itu sudah mencerminkan kedewasan pribadi dan iman saya.

Mudah menyerah

Saya selalu menganggap diri ini seorang yang mudah menyerah. Padahal sejak masuk di bangku kuliah, isi otak saya terus dicecoki kata-kata berlian, “Keep on Fighting Till The End”, sebuah doktrin yang terus saya kunyah, hingga saking seringnya tertelan habis hilang ke dubur dan entah hilang kemana. Saya berpikir bahwa wanita itu makhluk yang paling kuat sedunia. Dia bisa menjalani penderitaanya yang dia sendiri tidak dapat menghindarinya. Menstruasi contoh mulanya dan yaa melahirkan. Saya masih ingat, ketika ibu saya menceritakan proses kelahiran saya. Di sebuah rumah kecil di pelosok pulau Irian, ibu saya yang mengidap malaria saat itu bertarung nyawa untuk mengeluarkan saya agar bisa menjadi makhluk. “Di ambang kematian, bertarung nyawa untuk melihat kamu bisa menangis di hembusan nafasmu yang pertama”, saya hanya bisa tertunduk dan menarik nafas yang dalam ketika ibu menceritakannya kembali.

Kenapa saya harus mudah menyerah? Sedang ibu yang bertarung nyawa tidak pernah menghindar untuk menghadapi segala resiko untuk diri saya. Jadi, saya bisa menarik garis bahwa wanita itu-atau seorang ibu- tidak pernah berkeluh kesah oleh sebuah penderitaan karena secara logika mereka sudah terlatih untuk mengerti apa arti penderitaan itu meski yang dialami mendatangakan kebahagiaan.

Kembali ke paragraf di atas tadi, anggaplah bahwa saya seorang yang mudah menyerah, tetapi di lain sisi saya juga seorang yang rakus dan tidak pernah puas. Ok, itu memang keterlaluan. Hidup yangΒ surreal dan tidak nyata memang selalu menyenangkan. Berkhayal menjadikan kita sutradara dan penulis skenario utama dalam khayalan kita. Selalu menyenangkan mengubah hidup dalam sekejap detik untuk membentuk simpul senyum yang tidak nyata.

Plaaaak

Ya, saya butuh ditampar barangkali untuk kembali ke realita. πŸ™‚

“I wish my brain had a map to tell me where my life should go”