Tags

, , ,

Sebuah pertanyaan muncul di kepalaku: Seperti apakah sebuah seni jika ia berbicara tentang hal-hal intim dalam kemanusiaan? Walaupun tidak merasuk dalam relung kebrutalan dan piciknya sebuah kesengsaraan, Festival Kala Monolog IV, mencoba menyodorkan seni dalam bingkai etika sosial pada masyarakat urban kota.

Rumusan dan gagasan tentang etika sosial itu diterjemahkan dalam sebuah proyek seni oleh direktur artistik Kala Teater Shinta Febriany. Kala Monolog IV berlangsung tiga hari, 28-30 Mei 2012 yang merupakan tahun keempat pagelarannya. Shinta Febriany, Arman Dewarti, serta sutradara Teater Kita Ram Prapanca berhasil mengemas sebuah paket kesenian yang sederhana namun dibalut elegan. Mereka menyiapkan satu bingkai cerita yang untuk seorang saya-yang awam seni-ini-dapat menikmati dengan begitu nyamannya. Dan bahwa seseorang sedang berada di sebuah kota yang carut dengan problematikanya, adakah yang bisa menyelamatkannya? Silakan tuliskan harapan-harapan di atas kertas, lalu masukkan ke dalam sebuah amplop dan kirimkan mereka doa.

Soceitiet De Harmonie malam itu tampak beda, di sebuah gedung tua yang sedang dalam tahap renovasi, di salah satu sudut sempit di ujung kota barat Makassar di antara dinding beton menjulang sebuah kawasan pertokoan, sekelompok orang tengah duduk bersila. Senang melihat dominan penonton adalah kaum muda. Mereka duduk di depan panggung sederhana menunggu pagelaran seni dimulai. 

Tak ada kemeriahan dan suara ingar bingar layaknya pertunjukan musik dengan tata panggung gemerlap. Juga tak ada desain panggung megah layaknya pertunjukan drama kolosal. Di sudut remang itu haya ada kain hitam yang digantung mengelilingi dinding tembok dan kain jingga tepat di tengahnya. Hanya sebuah properti sederhana yang akan digunakan aktor yang tampil malam itu.

Ruzel Sang Dewa Mabuk

Nikmati emosi itu

Ruzel, aktor terbaik pada Kala Monolog III tahun lalu tampil pertama dengan sebuah monolog berjudul ‘Dewa Mabuk’ karya dari Akhudiat. “Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos”. Ruzel dengan apik memainkan memori-memori kultural kita tentang manusia baru yang terbentuk dalam eksperimen kota yang menyesakkan, menyebalkan, dan membosankan. Membentuk sebuah republik bernama Republik Ruko. Kota yang kehilangan identitas akibat keseragaman. Kota kehilangan penghuni waras, bukan penghuni kehilangan kota, tapi kehilangan akal. “Aku manusia ruko, saksi sejarah arsitektur. Lalu?”

Monologist favorit saya berikutnya, Luna Vidya tampil pamungkas menutup pagelaran. Naskah Dua Cinta karya Nano Riantiarno dipentaskannya dengan sangat memukau jika tidak ingin dibilang sempurna.

Luna Vidya yang nelangsa

Namanya As, seorang perempuan yang sedang berada dalam situasi antara impian tentang pernikahan, kebahagiaan dan kekecewaan. Ia berbincang bersama seorang perempuan lainnya bernama Is pada sebuah bangku taman. Is dan As adalah dua sahabat dalam persaingan memperebutkan seorang kekasih hati. As adalah seorang Is, dan Is sebenarnya juga adalah As.

Gagah, rupawan, dan pandai menarik semua wanita dengan kelicikannya, dialah Sis. Seperti yang dilakukan kebanyakan orang, As juga menjadikan status menikah sebagai saat tepat untuk menilai apakah seseorang berbahagia atau tidak. Beruntung ia membayangkan tidak menghabiskan hidupnya bersama Sis. Dan sayang bagi Is, ia berhasil menderita justru karena berhasil menikahi Sis. Hidup berkeluarga dan terikat dalam kesatuan pernikahan hanya menawarkan dua jenis nasib, bahagia atau menderita.

“Semua bohong”, As dalam lantang mengatakannya. Ia yang telah menikah dengan seorang pengusaha kaya raya, pun sebenarnya berbohong mengenai kebahagiaannya. Kenyataan yang begitu perih untuknya, setelah gagal mendapatkan Sis, dan gagal mempertahankan keluarganya, ia pergi ke kota lain dan terpaksa menjadi pelacur.

”Aku jadi pelacur karena dunia menolakku.”

“Aku benci!”

Panggung pentas meredup, lampu taman padam, pentas gelap. As masih menjerit, ”Aku benci!”. Ketika lampu perlahan menyala, di bangku duduk seorang perempuan setengah baya, berbaju terbuka berwarna merah, berkacamata, dan syal melilit di lehernya. Ia adalah Is.

“Sendirian om? Boleh ditemani?”

 Merayakan apresiasi

Sejak tahun 2009, Kala Teater telah konsisten menggelar sebuah festival monolog yang sangat memukau. Kehausan akan narasi seni kontemporer telah menjadi sumbu pemicu dari mereka untuk terus berkarya. Di tahun 2006 hingga sekarang kelompok teater ini dapat dikatakan paling rutin menggelar kegiatan teater di Makassar. Dengan kehausan akan seni teater itu, saya menyebutnya dalam sebuah kisah kaum Anshor yang memberi minum untuk kaum Muhajir seperti saya ini. Kehausan akan pertunjukan seni berkualitas.

Festival monolog ini, sejak dimulai tahun 2009, telah banyak mementaskan naskah monolog karya penulis dan teaterawan handal Indonesia, seperti Arifin C Noer, Putu Wijaya, N Riantiarno, termasuk naskah Kucing Hitam, karya sastrawan dari gerakan romantik Amerika, Edgar Allan Poe.

Tahun ini, Kala Monolog menawarkan empat pilihan judul naskah berbeda ke peserta untuk dipentaskan. Keempat naskah adalah Dua Cinta (N Riantiarno), Pidato (Putu Fajar Arcana), Dewa Mabuk (Akhudiat), serta Balada Sumarah (Tentrem Lestari). Monolog berjudul “Dua Cinta” yang ditulis N. Riantiarno dan dimainkan Nilam Sari dengan hidup (dari Bengkel Sastra Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar) berhasil menjadi pemenang pertama dalam festival ini.

***

Dua Cinta @lunavidya. Just tears me apart, such sorrowful composition. #FestivalKalaMonologIV

I tried not to goosebump but i failed before the end. And from the start. This monolog always gets me. #FestivalKalaMonologIV

Adalah dua kicauan saya sesaat setelah pemetasan ibu Luna Vidya. Dan pagi keesokan harinya saya mendapat balasan dari tweet saya itu.

lunavidya@dgical I owe you the show.. ok? 🙂

faizalramadhan

daengical@gmail.com